Pelayanan Kesehatan

0 komentar
PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA
bedjo santoso

A. Pengembangan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan pelayanan kesehatan yang paripurna, berkeadilan, terjangkau, bertanggung jawab, aman, bermutu, merata dan nondiskriminatif serta kerjasama secara sinergis antar sumber daya manusia sebagai potensi.
Tenaga kesehatan (medis dan paramedis) sebagai pelaksana pelayanan kesehatan (provider), pemerintah sebagai pemegang dan pembuat kebijakan (decission maker) dan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan (user) merupakan potensi yang harus bekerjasama secara harmonis dan bermanfaat guna pengembangan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya yang dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.
Karena dalam segala hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga akan berarti investasi bagi pembangunan negara. Pemerintah yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan berupaya untuk mengatur penyelenggaraan dan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Bentuk aturan sebagai produk pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan adalah Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan kementrian kesehatan. Dalam membuat produk aturan dimaksud pemerintah selalu melibatkan ketiga komponen potensi tersebut, Tenaga kesehatan diwakili organisasi profesi, pemerintah oleh kementerian kesehatan dan masyarakat oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu, bertanggung jawab dan non diskriminatif dapat terwujud seperti yang diharapkan. Serta tidak ada yang merasa dirugikan dalam pengambilan kebijakan.
Sistem pengembangan kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia lebih demokratis dengan mengakomodir berbagai potensi dan elemen serta kepentingan dalam masyarakat dalam memutuskan suatu aturan maupun kebijakan.
Marxists seperti yang berkembang di negara Inggris, dimana kelompok bourgeoisie mendominasi dan selalu mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dibandingjan kelompok proletariat. Sedangkan Pluralists democratic lebih mengedepankan bargaining dan negotiation pada setiap kelompok dalam upaya memperjuangkan kepentingan masing-masing kelompok, sehingga dalam faham pluralists tidak ada kelompok yang paling dominan. Pada pendekatan Structuralist sama dengan faham pluralists tidak ada kelompok yang dominan, tetapi pada faham structuralists pembagian kelompok lebih jelas yaitu Professional Dominant (medis dan paramedis), challenging (Perencana kegiatan/administrator/pemerintah) dan kelompok repressed (masyarakat). Ketiga kelompok tersebut bisa saling menekan guna memperjuankan kepentingan masing-masing kelompok.
Pemerintah Indonesia tidak dapat menganut secara utuh faham marxists, pluralists dan structuralist, tetapi mengadop sebagai asupan dalam pengembangan kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia.

B. Implementasi Kebijakan
Pada tingkat implementasi kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia masih ada ketimpangan yang terjadi pada ketiga potensi tersebut. Seperti contoh “Ketimpangan pembiayaan kesehatan”. Pembiayaan kesehatan saat ini lebih banyak dikeluarkan dari uang pribadi, dimana pengeluaran kesehatan yang harus dikeluarkan oleh indivudu sebagai elemen masyarakat (repressed) mencapai sekitar 70-80 % dari total biaya kesehatan, dan kebanyakan pembiayaan kesehatan ini berasal dari uang pribadi yang dikeluarkan ketika mereka memanfaatkan pelayanan kesehatan. Secara keseluruhan, total pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga (US $ 16 per orang per tahun). Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengeluaran pemerintah (challenging) maupun pribadi (repressed) untuk kesehatan lebih lanjut. Cakupan asuransi amat sangat terbatas, hanya mencakup pekerja disektor formal dan keluarga mereka saja, atau hanya sekitar sepertiga penduduk dilindungi oleh asuransi kesehatan formal. Meski demikian mereka yang telah diasuransikanpun masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi untuk sebagian besar pelayanan kesehatan. Akibatnya kaum miskin masih belum memperoleh fasilitas pembiayaan secara merata sekalipun sekarang diberlakukan JAMKESDA ataupun JAMKESMAS dan masyarakat miskin masih kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibiayaai oleh pemerintah. Dampaknya masyarakat miskin (proletariat) menerima lebih sedikit subsidi dana pemerintah untuk kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang kaya (bourgeoisie). Sebanyak 20 % penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10 % total subsidi kesehatan, sementara seperlima penduduk terkaya menikmati lebih dari 60 %.
Bukan hanya pembiayaan kesehatan saja yang mengalami ketimpangan, akan tetapi pada tingkat pelaksana pelayanan kesehatan (professional dominant) juga mengalami dilema dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah membuat aturan yang sifatnya mengikat kepada pelaksana pelayanan kesehatan khususnya dokter dan dokter gigi (professional dominant) diwajibkan untuk selalu memberikan pelayanan kesehatan secara prima dan berkualitas kepada masyarakat, akan tetapi kondisi tersebut tidak diimbangi reward yang baik oleh pemerintah, seperti halnya pemberian jasa pelayanan medik kepada tenaga kesehatan tidak sesuai dengan resiko dan beban kerja yang dilakukan, sehingga dokter dan dokter gigi tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan sepenuh hati. Mereka lebih senang mencari penghasilan tambahan/bekerja di rumah sakit swasta, karena rumah sakit swasta lebih dianggap dapat memberikan pengharggan yang sesuai dengan jasa yang diberikan.
Demikan juga paramedis dalam hal ini perawat dan perawat gigi, mereka tidak mendapatkan reward yang baik sesuai dengan kewenangan dan beban kerjanya. Pemerintah beranggapan perawat dan perawat gigi adalah pembantu dokter dan dokter gigi bukan dianggap sebagai mitra kerja yang harus berkolaborasi dalam pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan masing-masing. Sebagai akibat dari anggapan yang keliru dari pemerintah, maka perawat dan perawat gigi akan mencari reward yang sesuai dengan jerih payah yang dilakukan. Mereka cenderung membuka praktek dirumah selepas jam kerja, meskipun hal itu dilarang oleh sistem perundang-undangan di Indonesia. Kedua aktualisasi yang dilakukan tenaga medis dan para medis merupakan bentuk perlawanan dari pihak professional dominaant kepada pemerintah sebagai (challenging).

C. Konsep Kesehatan
Margaret Stacey (1977) mengidentifikasi tiga dimensi konsep kesehatan yaitu 1) Kesehatan yang bertumpu pada konsep kesehatan individu atau kesehatan masyarakat; 2) Konsep kesehatan yang bertumpu pada kebugaran atau kesejahteraan; 3) Kesehatan yang bertumpu pada konsep promotif dan preventif.
Ketiga konsep tersebut dikembangkan di Indonesia, hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Untuk itu pemerintah bertanggung merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat
Upaya kesehatan akan dilakukan pemerintah secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan melalui pencegahan penyakit (preventive), peningkatan kesehatan (promotive), pengobatan penyakit (curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitative).
Pemerintah juga memberikan hak yang sama kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan kebebasan untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan.

0 komentar:

Posting Komentar