The Health Policy Framework

0 komentar
“The Health Policy Framework”
by Bedjo Santoso, Program Doktoral IKG UGM

Bab I dalam buku ini menyajikan tentang mengapa kebijakan kesehatan penting ? dan bagaimanakah cara menetapkan kebijakan ? Bagaimanakah kerangka analisis sederhana yang menggabungkan tentang konteks, proses dan aktor dalam penyusunan sebuah kebijakan sehingga tidak berubah dari waktu ke waktu.
Mengapa kebijakan kesehatan penting?
Beberapa alasan disampaikan oleh Kent Buse, Nicholas Mays dan Gill Walt tentang mengapa kebijakan kesehatan penting ? Hal ini disebabkan karena sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons, artinya menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang teknologi bio-medis atau produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik, bahkan sebagai profesi kesehatan (perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer), karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan.
Kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya, kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan seperti kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama halnya dengan lingkungan mempengaruhi kesehatan (polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk), dan Kebijakan ekonomi mempengaruhi kesehatan (seperti pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat).
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini. Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan.
Kebijakan kesehatan menjadi penting karena memiliki manfaat : 1) Membantu memberikan informasi seutuhnya kepada para pembuat kebijakan kesehatan dalam pengambilan keputusan, 2) untuk mengisolasi dan mengklarifikasi terhadap isu yang berkembang di masyarakat, 3) merupakan inkonsistensi dari tujuan dan upaya yang telah ditetapkan, 4) merupakan pedoman guna membuat alternatif kebijakan yang baru, 5) merupakan metode untuk memberikan arah dalam menterjemahkan ide/gagasan menjadi suatu kebijakan yang layak dan realistik.
Apa kebijakan kesehatan itu?
Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu (bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan atau perdagangan). Orang-orang yang menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan. Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan (pemerintah pusat atau daerah, perusahan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit). Orang-orang ini kadang disebut pula sebagai elit kebijakan yaitu satu kelompok khusus dari para pembuat kebijakan yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan sering memiliki hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi yang sama atau berbeda. Misal : elit kebijakan di pemerintahan dapat beranggotakan para menteri dalam kabinet, yang semuanya dapat berhubungan dan bertemu dengan para petinggi perusahaan multinasional atau badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kebijakan dapat disusun disektor swasta dan pemerintah. Di sektor swasta, konglomerat multinasional dapat menyusun kebijakan bagi semua anak perusahaannya diseluruh dunia, tetapi memberi kesempatan kepada anak perusahaan di daerah untuk memutuskan kebijakan mereka sendiri dengan sejumlah syarat. Sebagai contoh : perusahaan seperti Anglo-American dan Heineken mengeluarkan terapi anti-retroviral untuk para pekerjanya yang menderita HIV positif di Afrika ditahun 2000, sebelum pemerintah yang lain melakukan hal yang sama. Namun, perusahaan swasta harus memastikan bahwa kebijakan mereka disusun sesuai dengan hukum yang berlaku umum, yang disusun oleh pemerintah.
Kebijakan publik mengacu kepada kebijakan pemerintah. Sebagai contoh Thomas Dye (2001) menyatakan bahwa kebijakan umum adalah segala sesuatu yang dipilih atau diputuskan oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak. Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan. Misal : pemerintah Amerika terus menerus memutuskan untuk tidak menetapkan layanan kesehatan universal, tetapi mengandalkan program market-plus untuk warga sangat miskin dan lansia 65 th keatas, guna memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakatnya.
Ketika mempertimbangkan contoh-contoh dalam kebijakan publik, pembaca harus mempertimbangkan pula pernyataan atau pendapat resmi yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah atau departemen. Pernyataan atau pendapat tersebut dapat digunakan dalam pencapaian tujuan tertentu (pelarangan bertukar jarum guna mengurangi resiko diantara pengguna obat, atau menyelesaikan suatu masalah memungut tarif untuk kendaraan guna mengurangi kepadatan lalu lintas di daerah perkotaan).
Kebijakan dapat mengacu kepada kebijakan kesehatan atau ekonomi yang disusun pemerintah, dimana kebijakan tersebut digunakan sebagai batasan kegiatan atau suatu usulan tertentu. Kadang kebijakan disebut sebagai suatu program, sebagai contoh bahwa program kesehatan sekolah yang dicanangkan pemerintah dapat memiliki sejumlah kebijakan yang berbeda seperti menolak calon siswa sebelum mereka memperoleh vaksin imunisasi penyakit anak, menyelenggarakan pemeriksaan medis, mensubsidi makanan sekolah dan pendidikan kesehatan yang wajib disertakan dalam kurikulum. Program kesehatan sekolah tersebut menjadi kebijakan bagi anak usia sekolah. Dalam contoh ini, jelas bahwa kebijakan tidak hanya berpangkal pada satu keputusan saja tetapi meliputi sejumlah keputusan yang mengarah ke suatu arah tindakan yang luas sepanjang waktu. Keputusan atau tindakan ini dapat disengaja atau tidak sengaja terdefinisi atau dianggap sebagai kebijakan.
Ada banyak cara untuk mendefinisikan kebijakan, Menurut Thomas Dye kebijakan umum adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah, tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Dalam buku ini kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor penentu diluar sistem kesehatan, para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi diluar sistem kesehatan yang memiliki dampak pada kesehatan (misal : pangan, tembakau atau industri obat).
Sama halnya dengan beragam definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan mengenai pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya, sebagai contoh seorang ahli ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan; seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt 1994). Menurut Walt, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan, bagaimana mereka mengolah pengaruh tersebut ?, dan dengan persyaratan apa ?.
Buku ini mengambil pendapat terakhir tentang kebijakan kesehatan, dan meletakkannya dalam suatu kerangka yang mencakup politik. Politik tidak dapat dipisahkan dari kebijakan kesehatan. Jika pembaca menerapkan epidemiologi, ilmu ekonomi, biologi atau profesi dan pengetahuan teknis lainnya ke dalam kehidupan sehari-hari, politik akan mempengaruhi pembaca. Tak seorang pun yang tidak dipengaruhi oleh politik. Misal : ilmuwan mungkin harus memfokuskan penelitian mereka pada hal-hal yang menarik minat pemberi biaya, daripada pertanyaan yang ingin mereka eksplorasi sendiri. Dalam memberikan resep, tenaga kesehatan mungkin harus mempertimbangkan kemungkinan tuntutan yang mengundang perselisihan dari pihak manajemen rumah sakit, peraturan pemerintah dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Para profesional ini mungkin didatangi oleh sales perusahaan obat (detailer) yang ingin mempengaruhi mereka untuk memberikan obat dari perusahaan mereka, dan mungkin saja para sales perusahaan ini menggunakan bentuk insentif yang berbeda. Sebagian besar kegiatan merupakan bagian dari pasang surut dan arus politik.
Dalam pengembangan suatu kerangka yang mengintegrasikan politik kedalam kebijakan, para pengkaji kebijakan kesehatan perlu memikirkan lebih jauh isi kebijakan. Banyak buku dan makalah tentang kebijakan kesehatan hanya berfokus pada satu kebijakan tertentu, meggambarkan maksud dari kebijakan tersebut, strategi untuk mencapai tujuan, dan apakah kebijakan tersebut berhasil mencapainya. Sebagai contoh: pada tahun 1990-an perhatian tertuju pada pembiayaan layanan kesehatan, dan melontarkan pertanyaan seperti berikut : 1) Kebijakan mana yang lebih baik antara menetapkan tarif bagi pengguna atau sistem asuransi sosial ? 2) Layanan kesehatan umum yang mana yang seharusnya dikontrakkan kepada sektor swasta ? Layanan kebersihan di rumah sakit ? Bank darah ? 3) Alat kebijakan apa yang diperlukan untuk menghadapi perubahan besar sperti itu? Legislatif ? Regulasi ? Insentif ?
Pertanyaan diatas adalah pertanyaan “apa” dalam kebijakan kesehatan, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan “siapa” dan “bagaimana”, seperti siapa yang membuat keputusan ? Siapa yang melaksanakan ? Peraturan apa untuk menetapkan dan melaksanakannya, atau tidak diperdulikan saja ? Dengan kata lain, isi kebijakan tidak dapat dipisahkan dari politik penyusunan kebijakan. Sebagai contoh : di Uganda, pada saat Presiden mengetahui bukti bahwa pemanfaatan layanan kesehatan menurun drastis setelah ditetapkannya tarif layanan kesehatan, maka Pemda membatalkan kebijakan yang dibuat oleh menteri kesehatannya yang terdahulu. Untuk memahami bagaimana Presiden Uganda membuat keputusan tersebut, pembaca perlu mengetahui sesuatu tentang konteks politik (akan ada pemilihan umum, dan keinginan untuk memenangkan suara); kekuatan Presiden untuk membuat suatu perubahan; dan peran bukti dalam mempengaruhi keputusan.
Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Menurut William N. Dunn kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat. Maka para pembuat kebijakan kesehatan dalam membuat keputusan dan merumuskan suatu kebijakan harus mempertimbangkan kebijakan publik dari aspek-aspek lain seperti politik, sosial ekonomi, dan budaya yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Pertimbangan terhadap kebijakan publik dalam merumuskan kebijakan kesehatan akan memberikan asupan positif, karena dalam kebijakan publik memuat keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah yang bersumber dari prioritas isu di masyarakat (policy issues) yang masuk dalam agenda untuk membuat kebijakan. Sehingga kebijakan kesehatan yang dirumuskan dapat diterima oleh masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
Segitiga Kebijakan Kesehatan
Kerangka yang digunakan dalam buku ini memahami pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan kesehatan. Hal tersebut mengarah ke pemaparan peran negara secara nasional dan internasional, serta kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sosial secara nasional dan global, memahami bagaimana mereka berinteraksi dan mempengaruhi kabijakan kesehatan. Juga berarti pemahaman terhadap proses dimana pengaruh-pengaruh tersebut diolah (dalam penyusunan kebijakan) dan konteks dimana para pelaku dan proses yang berbeda saling berinteraksi.
Kerangka ini berfokus pada isi, konteks, proses dan pelaku. Kerangka tersebut digunakan dalam buku ini, karena membantu dalam mengeksplorasi secara sistematis bidang politik yang terabaikan dalam kebijakan kesehatan.
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sederhana untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke-empat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah. Namun pada kenyataannya tidak demikian, bahwa ke-empat faktor merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendekatan penyusunan kebijakan. Pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (individu atau anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti : ketidakstabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan : bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga dan dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian ini.
Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku-pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang menunjukkan variabel-variabel penting yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan kesehatan.

Para Pelaku Penyusun Kebijakan
Seperti yang pembaca lihat dalam Gambar 1.1., pelaku berada ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku dapat digunakan untuk menunjuk individu, organisasi (World bank atau perusahaan multi-nasional), atau bahkan suatu negara atau pemerintahan. Namun, penting untuk dipahami bahwa itu semua adalah penyederhanaan. Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi dimana mereka bekerja dan setiap organisasi atau kelompok dibangun dari sejumlah orang yang berbeda, yang tidak semuanya menyuarakan hal yang sama, yang masing-masing memiliki norma dan kepercayaan yang berbeda. Pelaku yang berbeda beserta cara yang digunakannya, dapat dijadikan kajian tentang siapa yang memiliki pengaruh dalam proses kebijakan.
Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku tersebut dalam proses kebijakan berarti pula memahami konsep kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku mungkin berusaha untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai dimana pengaruh tersebut tergantung pada bagaimana mereka memandang kekuasaan tersebut. Kekuasaan dapat dikategorikan berdasarkan kekayaan pribadi, kepribadian, tingkat atau akses kepada ilmu pengetahuan, atau kewenangan, tetapi hal tersebut sangat berhubungan dengan organisasi dan struktur (jaringan kerja) dimana para pelaku individu ini bekerja dan tinggal. Ahli sosiologi dan ilmu politik membahas hubungan antara lembaga dan struktur dengan mengedepankan pengertian bahwa kekuasaan para pelaku (pejabat) terikat dalam stuktur organisasi mereka sendiri.
Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan
Konteks mengacu pada faktor-faktor sistematis politik, ekonomi dan sosial, baik national dan internasional yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan. Ada banyak cara untuk mengelompokkan faktor-faktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup bermanfaat untuk mengkategorikan faktor-faktor tersebut :
Faktor yang pertama adalah faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (perang, kekeringan). Hal-hal tersebut sering dikenal sebagai “focusing event”. Event ini bersifat satu kejadian saja (terjadinya gempa) atau terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru (terjadinya wabah HIV/AIDS).
Faktor yang kedua adalah faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah, faktor ini meliputi sistem politik, yang mencakup keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dalam menentukan kebijakan; faktor struktural juga meliputi jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja; Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan obat-obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan-alasan tersebut terdapat peningkatan ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para dokter dan bidan untuk mengambil risiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis layanan kesehatan yang dapat diupayakan.
Faktor ketiga adalah budaya yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau menentang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Faktor agama, dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh ketidak-konsistennya Presiden George W. Bush pada awal tahun 2000-an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka gagal melaksanakan keyakinan tradisi budaya Presiden Bush.
Ke-empat adalah faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan. Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral.
Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu dan tempat.

Proses Penyusunan Kebijakan
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan Jenkins-Smith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan yang sebenarnya terjadi didunia nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan kebijakan dalam tahapan-tahapan yang berbeda, yaitu : 1) Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu – isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan. 2) Perumusan kebijakan : menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. 3) Pelaksanaan Kebijakan : tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan, sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi , maka hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan. 4) Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan ? bagaimana pengawasannya ? apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan ? Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan.
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti proses yang linier dengan kata lain, proses ini berjalan dengan mulus dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah hingga ke pelaksanaan dan evaluasi, namun, sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai suatu proses. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pada tahap pelaksanaan kebijakan ditemukan masalah baru, atau mungkin kebijakan telah diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan. Dengan kata lain, penyusunan kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional dan dipengaruhi oleh kepentingan sepihak salah satunya adalah pelaku pembuat kebijakan. Banyak yang sependapat dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah sesuatu yang dicampur aduk oleh para penyusun kebijakan.
Namun, tahap heuristik telah berlangsung sekian lama dan tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak hanya kebijakan tingkat nasional tetapi juga internasional guna memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia.
Menggunakan Segitiga Kebijakan Kesehatan
Pembaca bisa menggunakan segitiga kebijakan kesehatan untuk mengkaji atau memahami kebijakan tertentu atau menerapkannya untuk merencanakan suatu kebijakan khusus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang pertama mengacu kepada pengkajian kebijakan, sedangkan yang kedua mengenai pengkajian untuk kebijakan.
Pengkajian kebijakan pada umumnya bersifat retrospektif, pengkajian ini melihat kembali penentuan kebijakan (bagaimana kebijakan dapat dimasukkan kedalam agenda, bagaimana awal dan perumusannya, apa isi kebijakan tersebut (konten). Pengkajian ini juga meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan : apakah dapat mencapai tujuan? Apakah dapat dianggap berhasil ?
Pengkajian untuk kebijakan biasanya bersifat prospektif, pengkajian yang melihat ke depan dan mencoba untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi jika suatu kebijakan tertentu dilaksanakan. Pengkajian ini memberikan pemikiran strategis untuk masa mendatang dan dapat mengarah ke advokasi dan lobi kebijakan.
Sebuah contoh tentang bagaimana pengkajian kebijakan dapat membantu dalam tindakan untuk kebijakan dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh McKee et al. (1996) dimana mereka membandingkan kebijakan yang dilaksanakan di sejumlah negara berpenghasilan tinggi dalam pencegahan kematian bayi mendadak disebut dengan ‘cot deaths’. Penelitian telah menemukan bahwa kematian semacam ini dapat dihindari dengan menidurkan bayi terlentang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bukti telah ditemukan awal tahun 1980-an tetapi dilaksanakan beberapa tahun kemudian dan sejumlah negara tidak segera menetapkan cara ini agar supaya dapat mendorong para orang tua untuk menidurkan bayi mereka terlentang. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa bukti statistik dianggap tidak penting, sama halnya dengan pemerintah dibanyak negara yang tidak tanggap akan adanya angka kematian bayi mendadak yang selalu meningkat meski banyak bukti disekitar mereka. Sebaliknya, mereka lebih menekankan pada program-program yang disiarkan media, serta kegiatan dan feedback oleh LSM yang dianggap lebih penting. Pelajaran yang dapat diambil tentang kebijakan tergantung pada sistem politik: dalam pemerintahan federal, nampaknya ada penyebaran kewenangan, kegiatan pusat sulit dilaksanakan. Hal ini dapat diatasi dengan kampanye regional yang terorganisasi baik, serta mengajak LSM dan media untuk ikut memperhatikan isu tersebut. Di sebuah negara, layanan statistik yang terdesentralisasi mengakibatkan kelambatan dalam memperoleh data kematian. Akibatnya pengenalan masalah memerlukan waktu lebih lama. Penulis menyimpulkan bahwa masih banyak negara yang harus mengkaji kembali tatanan mereka dalam menghadapi bukti tantangan kesehatan masyarakat.
Ringkasan
Pembaca telah dikenalkan dengan definisi kebijakan dan kebijakan kesehatan dalam bab ini, serta kerangka pengkajian terhadap konteks, proses dan pelaku, yang akan membantu pembaca dalam memahami politik yang berpengaruh pada proses penyusunan kebijakan. Pembaca telah mempelajari bahwa segitiga kebijakan dapat digunakan secara retrospektif untuk menganalisis kebijakan dimasa lalu, dan secara prospektif untuk membantu dalam perencanaan untuk mengubah kebijakan yang sudah ada. Banyak konsep yang sudah pembaca ketahui ini akan diperluas dan diberi gambaran yang lebih dalam bab-bab selanjutnya.
Dari hasil review bab ini, Teori yang disampaikan Kent Buse, Nicholas Mays dan Gill Walt perlu diimplementasikan terhadap permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia. Salah satu permasalahan dibidang kesehatan adalah “Fenomena Kompetensi Perawat Gigi”. Adapun yang melatar belakangi masalah tersebut adalah : Dokter gigi dan Perawat gigi adalah tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Dalam melaksanakan tugas kedua profesi tersebut memiliki kewenangan dan kompetensi yang berbeda, dokter gigi memberikan pengobatan gigi dan mulut (cure), sedangkan perawat gigi memberikan pelayanan perawatan kesehatan gigi dan mulut (care).
Pada kenyataannya dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas, perawat gigi tidak bekerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Perawat gigi melakukan tindakan perawatan (care) dan pengobatan (cure) seperti melakukan diagnosa penyakit dan melakukan pengobatan terhadap penyakit gigi dan mulut yang merupakan otoritas dokter gigi, meskipun kewenangan dan kompetensi perawat gigi diatur dalam keputusan menteri kesehatan 378/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi. Menyikapi kondisi tersebut, dokter gigi terkesan membenarkan, karena merasa pekerjaannya sebagai penangungjawab pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas terbantu terhadap tindakan yang dilakukan perawat gigi.
Ketimpangan tersebut terjadi karena 1) perawat gigi sebagai profesi belum memiliki body of knowledge/kemandirian ilmu; 2) Ratio dokter gigi terhadap jumlah penduduk masih sangat rendah yaitu 1 : 21.500 penduduk, sehingga memungkinkan perawat gigi mengisi kekosongan di Puskesmas yang tidak memiliki dokter gigi; 3) Dokter gigi di Puskesmas memiliki tugas rangkap, sehingga memungkinkan tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan medis kedokteran gigi, yang pada akhirnya tugas dokter gigi dilaksanakan oleh perawat gigi; 4) dokter gigi melimpahkan seluruhnya tugas-tugas pelayanan kepada perawat gigi tanpa didasari bukti pendelegasian wewenang yang jelas; 5) lemahnya peraturan yang mengatur implementasi tugas pokok dan fungsi dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Maka untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan suatu kebijakan, sedangkan kebijakan yang dimaksud adalah keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan yang mengatur tentang tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. Kebijakan tersebut akan mengatur standar operating prosedur dan sanksi terhadap tindakan mal praktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan gigi dan mulut.
Pendekatan yang digunakan untuk penyusunan sebuah kebijakan kesehatan adalah dengan metode “The health policy triangle” / segitiga kebijakan kesehatan. Kerangka yang digunakan metode ini adalah pentingnya mempertimbangkan ”content, process, context dan actors dalam membuat sebuah kebijakan kesehatan tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. Adapun pendekatan dimaksud adalah : 1) Content / isi kebijakan yang akan dikembangkan dan kebijakan terdahulu yang akan dijadikan acuan dalam penyususnan kebijakan baru : Kebijakan yang akan dijadikan sebagai acuan adalah Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 378/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi; Kebijakan yang akan dikembangkan adalah tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. 2) Actor / Pelaku adalah individu/organisasi profesi/pemerintah yang berpengaruh dan berperan dalam dalam proses penyusunan kebijakan. Pelaku yang terlibat dalam penyususnan kebijakan ini adalah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan (Pusdiknakes) Republik Indonesia, Pusat Promosi Tenaga Kesehatan (Puspronakes) Republik Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI), Forum Komunikasi Jurusan Kesehatan Gigi Indonesia, User (Puskesmas/Rumah Sakit), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang kesehatan. 3) Context/Keadaan / kondisi / situasi yang dapat mempengaruhi penyusunan kebijakan kesehatan adalah Kompetensi perawat gigi yang tertuang dalam standar profesi mendapat protes dari oraganisasi dokter gigi (PDGI), karena dianggap masih ada kompetensi perawat gigi yang overlap dengan kompetensi dokter gigi. 4) Process/Proses penyusunan kebijakan kesehatan yang terbagi dalam tahapan yang berbeda yaitu :
• Identifikasi masalah isu.
Pada tahap ini diharapkan kita menemukan isu-isu yang berkembang dan tidak pernah dibicarakan, sehingga dapat digunakan sebagai agenda penyusunan kebijakan
• Perumusan kebijakan.
Tahap ini diharapkan dapat menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimanakah kebijakan dihasilkan, disetujui dan dikomunikasikan
• Pelaksanaan Kebijakan
Tahap dimana kebijakan yang telah dirumuskan akan dilaksanakan oleh elemen organisasi di tingkat lokal/daerah.
• Evaluasi kegiatan
Diharapkan pelaku pengambil kebijakan dapat menemukan sesuatu yang terjadi pada saat kebijakan yang dilaksanakan, melakukan pengawasan apakah tujuan tercapai ? dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan pada saat pelaksanaan.

0 komentar:

Posting Komentar