Care Takers of Cure

0 komentar
“Care takers of Cure” : An Antropological Study of Health Centre Nurses In Rural Central Java (Pengarang Rosalia Sciortino)"

(Sebuah Kajian Analog Pengembangan Kompetensi Perawat Gigi)
by bedjo Santoso S3 IKG UGM

A. KONSEPTUALISASI KEPERAWATAN DI DUNIA BARAT SERTA PENYEBARANNYA

“Care takers of Cure” : An Antropological Study of Health Centre Nurses In Rural Central Java, adalah penelitian Rosalia Sciortino yang dilakukan di Kecamatan Salma Kabupaten Magelang Jawa Tengah pada tahun 1989. Penelitian dilakukan akibat dari rasa heran yang timbul, karena Rosalia Sciortino melihat bahwa sebagian sebagian besar pelayanan medis menjadi tanggung jawab perawat. Mereka kelihatan sibuk mengelola dan melaksanakan hampir setiap kegiatan di puskesmas, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk dengan menawarkan bantuan pengobatan (kuratif) di sektor swasta. Secara umum dapat dikatakan bahwa perawat berperan penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan.
Bertitik tolak dari pengamatan penulis, maka timbul beberapa pertanyaan tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab perawat di daerah pedesaan Jawa Tengah ? Peranan apa yang dijalankan perawat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas maupun ditempat praktik pribadi ? Bagaimanakah perawat menggabungkan fungsi publik dengan fungsi swasta yang mereka tawarkan ? Bagaimana mereka berhubungan dengan pasien, dokter dan petugas kesehatan lainnya ? Bagaimana sikap perawat terhadap pengobatan tradisional ? Apakah kurikulum sekolah perawat yang berorientasi ke Barat sesuai dengan tugas-tugas keperawatan di daerah pedesaan ?
Penulis berpendapat bahwa kejadian di desa Salma kabupaten Magelang, sebagai akibat dari pengaruh konseptualisasi keperawatan di dunia Barat serta penyebarannya. Perkembangan-perkembangan pokok dalam bidang keperawatan di dunia Barat. Telah digambarkan bagaimana keperawatan berkembang dari suatu pengabdian yang berbentuk intuitif (pengabdian kepada masyarakat yang didasarkan pada pengabdian kepada Tuhan), menjadi sebuah pekerjaan vokasional (pekerjaan yang didasarkan pada keterampilan khusus/kejuruan), dan kemudian menjadi sebuah pekerjaan semi-profesional (pekerjaan yang didasarkan pada keahlian khusus). Gagasan-gagasan lama masih berpengaruh terhadap keperawatan modern yang belum menyelesaikan kontradiksi yang melekat dalam posisinya di antara ruang lingkup vokasional keagamaan dan usaha profesionalisasi.
Model keperawatan vokasional yang didasarkan pada pengabdian keagamaan, semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan pasien. Penyebaran pemikiran mengenai pelayanan kesehatan gratis pada masyarakat, hak-hak pasien untuk mendapatkan perawatan dan kewajiban negara untuk menyediakannya, menyebabkan terkikisnya model keperawatan vokasional dan pelayanan yang bersifat keagamaan menuju pelayanan keperawatan yang bersifat profesional dan banyak diterima oleh masyarakat.
Ada 3 (tiga) proses yang pada akhirnya menghasilkan citra baru keperawatan: 1) munculnya pengakuan publik tentang relevansi keperawatan dalam pelayanan kesehatan sebagai dampak dari usaha-usaha Florence Nightingale (1820-1910); 2) kemajuan ilmu kedokteran beserta peningkatan pelayanan rumah sakit yang semakin menuntut adanya suatu bentuk keperawatan baru; 3) terbentuknya sistem pendidikan keperawatan.
Florence Nightingale memberikan sumbangan terhadap konseptualisasi baru keperawatan sebagai lapangan kerja yang spesifik, hingga saat itu terdapat dua peran perawat yang sama sekali berbeda. Perawat rumah sakit yang berpaham sekuler terlibat dalam bidang domestik dan melaksanakan secara pasif perintah-perintah dokter. Sedangkan perawat yang berpaham keagamaan dan ladies lebih mengutamakan perawatan spiritual. Pembaharuan yang dilakukan Florence Nightingale terus berkembang, bukan hanya tugas perawat membebaskan kecemasan dan kekhawatiran serta ketakutan, akan tetapi harus menjamin kesembuhan fisiknya.
Sudah ditunjukkan pula bahwa perkembangan-perkembangan di bidang keperawatan berkaitan erat dengan perkembangan-perkembangan di bidang kedokteran, terutama pada pelayanan rumah sakit. Para perawat, yang pada mulanya adalah generalis, ‘terpojok’ pada bidang keperawatan dengan munculnya ahli-ahli kedokteran pertama. Sejak itu, mereka mempertahankan kontrolnya terhadap perawatan pasien di hospices dan kemudian di rumah-rumah sakit. Dengan munculnya sistem rumah sakit modern, mereka memperoleh kembali akses di bidang pengobatan, namun berada pada posisi bawahan (subordinat) yaitu sebagai pelaksana petunjuk-petunjuk dokter. Dengan meningkatnya medikalisasi tugas-tugas keperawatan, batas antara kedua bidang keahlian ini menjadi kabur dan posisi keperawatan terperangkap di antara care (merawat) dan cure (mengobati). Bila dokter mempertahankan kontrolnya atas bidang kuratif sebagai pemegang hak eksklusif untuk menetapkan diagnosa dan pengobatan, perawat mengalami risiko kehilangan hak dan kontrolnya atas bidang keperawatan karena terjadi persaingan dengan berbagai spesialis keperawatan lainya yang baru muncul.
Dalam upaya memperoleh status profesional, perawat akhirnya memilih keperawatan (care) sebagai bidang pekerjaanya dan mulai meninggalkan model kedokteran dengan merumuskan sebuah model keperawatan holistik yang menghargai kembali tugas-tugas kustodial mereka. Teori-teori keperawatan terbaru menekankan perawatan pasien sebagai tujuan utama ilmu keperawatan, sedangkan strategi kesehatan internasional Primary Health Care (PHC) memperluas bidang pekerjaannya dengan mempercayakan tugas perawatan kesehatan masyarakat kepada perawat.
Keperawatan vokasional, yang kemudian menjadi semi-profesional, diekspor dari Eropa ke Amerika dan ke benua-benua lainya oleh misionaris, pemerintahan kolonial, dan kemudian oleh organisasi-organisasi internasional. Ilmu kedokteran dan keperawatan yang berkembang dan menyebar luas di negara-negara Barat, ditransfer dan direproduksi tanpa memandang bulu di dunia ketiga. Baru sejak 1974, beberapa tahun sesudah penyusunan strategi PHC, kondisi sosio-ekonomi dari negara-negara non-Barat mulai mendapatkan perhatian.
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran, ilmu keperawatan Barat masuk Kepulauan Nusantara yang identik dengan model “asing” atau konseptualisasi keperawatan barat, ternyata tidak dapat direproduksi dan diadopsi secara utuh di Indonesia, karena negara kita memiliki latar belakang lingkungan dan sosial budaya yang berbeda. Perbedaan yang jelas tampak pada komposisi gender dalam posisi perawatan. Di negara Barat keperawatan mengalami evolusi dari pekerjaan yang terbuka untuk kedua jenis kelamin menjadi pekerjaan yang didominasi perempuan, sedangkan di Indonesia keperawatan berkembang dari pekerjaan eksklusif laki-laki menjadi terbuka bagi kedua jenis kelamin. Perbedaan tersebut disebabkan oleh pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam lingkungan sosial mesyarakat setempat, gagasan-gagasan yang dominan mengenai segregasi (pemisahan golongan) jenis kelamin, dan sifat pekerjaan yang ditugaskan kepada tenaga keperawatan.
Tugas-tugas tersebut sering menyimpang dari pola Barat. Untuk memenuhi kebutuhan sistem kesehatan, keutamaan care sebagai bidang kerja perawat tidak dapat selalu dipertahankan. Secara lebih khusus, ditemukan adanya dua kecenderungan pokok yang berjalan seiring selama periode penjajahan. Di rumah sakit, keperawatan mengalami evolusi dari suatu kegiatan domestik dan kustodial menjadi suatu pekerjaan vokasional. Perkembangan ini berbeda dengan di dunia Barat, di mana keperawatan vokasional justru berkembang sebelum menjadi pekerjaan yang bersifat domestik. Akan tetapi, hal ini tidak menyebabkan terjadinya perbedaan yang berarti dalam inti tugas-tugas keperawatan. Sebagaimana di dunia Barat, perawat rumah sakit di Kepulauan Nusantara memberikan perawatan kepada pasien rawat inap. Di tempat-tempat yang setting nya mirip dengan negara induknya, model keperawatan yang asli dapat direproduksikan dengan wajar.
Lain halnya, di tempat-tempat di mana setting nya berbeda. Di poliklinik, pasien tidak membutuhkan perawatan rawat inap. Mereka hanya membutuhkan pengobatan, namun tidak ada spesialis medis yang dapat bertugas di tempat itu. Kebutuhan mengembangkan cakupan pelayanan yang tidak didukung oleh ketersediaan tenaga kedokteran, mendorong pemerintah untuk memberikan kepercayaan kepada perawat di pedesaan untuk melakukan diagnosa dan terapi, dua tindakan yang sebetulnya merupakan simbol eksklusif dari kekuasaan dokter. Dengan demikian, pemerintah kolonial mengimplementasikan sebuah model baru dalam bidang kuratif, yang jelas menyimpang dari pola keperawatan di dunia Barat.
Sesudah kemerdekaan, kedua pola keperawatan ini terus berjalan seiring baik di rumah sakit dan di puskesmas. Berbeda dengan masa terdahulu, pengaruh organisasi dan strategi internasional, serta semakin bertambahnya jumlah dokter, memotifasi pemerintah Indonesia untuk menolak model keperawatan kuratif. Karena pada tingkat kebijakan terjadi penekanan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif, maka perawat puskesmas secara resmi dipandang sebagai spesialis keperawatan kesehatan masyarakat. Sistem hukum maupun sistem pendidikan secara tegas menyangkal eksistansi peran kuratif perawat.
Meskipun keperawatan model “Barat” tidak dapat di reproduksi dan diadopsi secara utuh di negara kita, secara tegas konsep keperawatan di Indonesia mengacu pada konseptualisasi keperawatan barat yang lebih mengutamakan tindakan perawatan (care) daripada pengobatan (cure). Persamaan konseptual terbukti pada fokus praktik keperawatan yang berkembang, yaitu pada tindakan asuhan keperawatan individu, keluarga, dan atau masyarakat pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan, yang berarti lebih menekankan tindakan pada arah perawatan (care) dari pada pengobatan (cure).
Profil keperawatan di negara kita lebih ke arah pada kemampuan pengelolaan perawatan pasien di rumah sakit dari pada sebagai petugas parawatan kesehatan masyarakat di puskesmas. Strategi internasional melalui pendekatan PHC seperti yang dikembangkan di negara barat tidak dapat diadopsi secara utuh pada model keperawatan di negara kita, karena kegiatan perawatan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang terintegrasi dari pelayanan kesehatan puskesmas dan harus dilaksanakan oleh seluruh elemen tenaga kesehatan di puskesmas secara terpadu melalui kegiatan lintas program, sehinggga dianggap bukan tugas perawat puskesmas.
Peran dan tugas perawat puskesmas adalah melakukan diagnosa penyakit, pengobatan, menulis resep, dan merujuk pasien kepada bagian lain dalam lingkup puskesmas tempat kerja. Lain halnya dengan perawat rumah sakit, mereka akan melaksanakan peran dan fungsinya sebagai “care taker” dengan baik, karena tindakan cure (pengobatan) dirumah sakit menjadi otoritas dokter dan dokter spesialis, perawat hanya berfungsi dan berperan sebagai pelaksana perintah dokter dan pelaksana asuhan keperawatan pasien rawat inap.
Perawat dalam ketenagaan kesehatan Indonesia, termasuk dalam rumpun keperawatan bersama dengan bidan dan perawat gigi. Bidan memiliki konsep yang jelas dalam peran dan fungsinya sebagai tenaga paramedis, seperti halnya perawat, namun berbeda dengan perawat gigi yang belum memiliki konsep yang jelas dan tegas. Pada awal keberadaannya tahun 1951, perawat gigi sebagai tenaga paramedis lebih diarahkan pada upaya pemenuhan program pemerintah akan cakupan pelayanan kesehatan gigi dan mulut, karena jumlah dokter gigi di Indonesia pada masa itu masih sangat kurang, sehingga perawat gigi diberi bekal pengetahuan dan keterampilan tentang medis gigi, dengan harapan cakupan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat yang berorientasi pada upaya kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif dapat terlaksana secara merata.
Fokus peran perawat gigi pada pelayanan kesehatan berbeda dengan perawat yang memiliki kemampuan untuk mengelola pasien di rumah sakit, pembentukan perawat gigi lebih diarahkan pada kemampuan untuk melakukan tindakan care dan cure kesehatan gigi dan mulut masyarakat melalui pelayanan puskesmas. Perawat gigi tidak diberi bekal pengetahuan dan keterampilan medis dasar tentang pengelolaan pasien rawat inap gigi dan mulut di rumah sakit, sehingga perawat gigi tidak memiliki kemampuan untuk itu. Pengelolaan pasien rawat inap gigi dan mulut rumah sakit menjadi tanggung jawab perawat sebagai pelaksana perawatan di rumah sakit.
Pembentukan perawat gigi oleh pemerintah Indonesia pada masa itu, tidak berkiblat pada konseptualisasi keperawatan barat maupun profil keperawatan Indonesia, sehingga sulit bagi pemerintah untuk mengubah peran perawat gigi pada masyarakat sampai saat ini.

B. KONSEPTUALISASI KEPERAWATAN PADA TINGKAT NASIONAL
Menurut Rosalia Sciortino, Peran yang diberikan kepada perawat dalam kaca mata hukum diatur berdasarkan perundang-undangan dan kebijakan kesehatan. Undang-undang Kesehatan No. 6/1963 yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman namun pada saat penelitian Rosalia Sciortino dilakukan undang-undang tersebut masih berlaku, tampak disebutkan dengan jelas bahwa pada tingkat nasional, profesi keperawatan dianggap sebagai sebuah jenis pekerjaan subordinat yang mengkhususkan diri pada pelayanan keperawatan. Dan jika dilihat dari kedudukan dalam pelayanan kesehatan sebagai bawahan, maka pertanggungjawaban medis atas pekerjaan yang dilakukan berada ditangan dokter. Wewenang untuk melaksanakan pekerjaan secara otonom, hanya dapat didelegasikan oleh penanggung jawab medis ataupun karena kebijakan pemerintah. Menurut penjelasan perundang-undangan tersebut selanjutnya dinyatakan bahwa peran otonom yang terbatas sebaiknya diberikan secara resmi kepada tenaga kesehatan dasar yang bekerja didaerah-daerah dimana belum tersedia dokter yang dapat mengesahkan tindakan-tindakan mereka. Namun pada perundang-undangan berikut kesadaran akan kenyataan lokal tidak muncul dan pentingnya pengesahan tindakan-tindakan kuratif yang dilakukan perawat tidak dibicarakan lebih lanjut, sehingga mereka dianggap ilegal sesuai dengan hukum yang berlaku yang menyatakan bahwa perawat tidak diperkenankan mengobati pasien.
Perawat puskesmas hanya dapat melakukan tindakan kuratif dalam situasi darurat atau sebagai perpanjangan tangan dokter. Menurut Rosalia Sciortino bahwa dalam keadaan normal, perawat menjalankan peran subordinat di bidang kuratif dengan dua cara. Pertama sebagai informan dokter, perawat memberikan informasi tambahan kepada dokter agar dokter mampu membuat diagnosa yang lebih tepat dan/atau mengevaluasi pengobatan medisyang telah diberikan kepada pasien. Dalam mengumpulkan informasi, perawat hanya dapat menggunakan teknik keperawatan yang spesifik, seperti diagnosa keperawatan dan pengamatan kondisi fisik pasien yakni denyut nadi, tekanan darah dan suhu tubuh. Cara yang kedua perawat dapat melakukan tindakan kuratif ketika membantu pasien dengan mengikuti petunjuk dokter, memberikan obat baik secara oral maupun suntikan sesuai resep dokter, dan atau mengawasi pelaksanaan diet dan latihan fisik tertentu.
Perawatan rumah sakit dan perawatan kesehatan masyarakat adalah ruangan kerja formal perawat di Indonesia. Lebih jauh lagi, sesuai dengan perundang-undangan yang ada, perawatan kesehatan masyarakat didefinisikan dalam arti yang terbatas, tanpa memasukkan kegiatan perawatan kuratif yang mandiri, dan telah di sepakati bahwa tindakan care merupakan bidang keperawatan. Perawat tidak diizinkan untuk melakukan diagnosa, mengobati pasien, dan menulis resep dalam praktik umum ataupun swasta. Jika hal ini dilakukan, berarti mereka melakukan tindakan yang ilegal. Karena itu mereka tidak bisa menerima pengakuan resmi atas kegiatan kuratif mereka, dan bahkan dapat terkena hukuman.
Sesuai dengan petunjuk-petunjuk pemerintah, sistem pendidikan yang ada tidak menyiapkan perawat untuk peran kuratif, tetapi hanya bertujuan untuk membentuk perawat-perawat rumah sakit sampai tingkat yang lebih terbatas, dan perawat-perawat kesehatan masyarakat. Pada kenyataannya, sekalipun ‘retorika’ PHC ditonjolkan dalam kebijakan nasional, dalam kurikulum pendidikan keperawatan, perhatian terutama ditunjukan kepada perawatan di rumah sakit. Sebagai hasilnya, perawat puskesmas masa mendatang dilengkapi dengan pengetahuan yang sama sekali tidak relevan untuk kebutuhan pekerjaan mereka.
Keperawatan rumah sakit juga dominan dalam organisasi perawat nasional. Walaupun sebagai mitra pemerintah PPNI harus menyetujui strategi PHC, prioritas utamanya adalah mengembangkan perawatan rumah sakit berdasarkan model Amerika. Minat tersebut juga dipengaruhi oleh keinginan pucuk pimpinan PPNI untuk meningkatkan profesionalisme keperawatan di Indonesia melalui peningkatan pendidikan keperawatan dan spesialis teknologi. Dengan merujuk ke parameter asing, PPNI seakan lupa mengenai basis organisasi, yaitu perawat-perawat yang bekerja di pelayanan rujukan tingkat rendah.
Perbedaan dengan pola Barat hanya dalam usaha untuk meningkatkan profesionalisme perawat dan tidak melepaskan unsur vokasional dan keperawatan. Seperti halnya pemerintah, PPNI menggabungkan nilai modern profesionalisme dengan nilai tradisional keperawatan sebagai panggilan pengabdian, serta dengan unsur nasionalisme yang menuntut perawat agar bersikap loyal kepada pemerintah dan ideologinya.
Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan diatas, profil resmi seorang perawat dapat ‘dikonstruksikan’ sebagai berikut : seorang perawat di Indonesia merupakan ‘care taker’ yang bermotivasi tinggi dan melayani negara dan organisasinya; mengetahui konsep perawatan kesehatan masyarakat, tetapi lebih dipercaya dengan perawatan rumah sakit; bekerja sama erat dengan dokter tanpa mengambil alih bidang kuratifnya; mempunyai kepedulian tinggi untuk menolong orang lain serta memperbaiki kesehatan masyarakat, dan menghindari segala perbuatan yang menguntungkan diri sendiri.
Konsistensi profesionalisme perawat dengan tetap mempertahankan profil keperawatan Indonesia, membawa dampak positif terhadap eksistensi perawat sebagai mitra dokter, terbukti dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan di bidang keperawatan sampai pada tingkat spesialistik. Konseptualisasi keperawatan Indonesia secara tegas mengidentikkan peran paramedis kearah care dalam pelayanan kesehatan. Konsep tersebut dapat dijadikan acuan dalam membentuk profil tenaga kesehatan yang berada dalam satu rumpun dengan keperawatan khususnya perawat gigi.
Konseptualisasi perawat gigi bertolak belakang dengan Konseptualisasi keperawatan. Perawat gigi di munculkan tahun 1951 melalui Sekolah Perawat Gigi (SPG) di Jakarta bertujuan untuk memenuhi program pemerintah dalam pemerataan cakupan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di masyarakat, karena ratio antara dokter gigi dengan puskesmas dan rumah sakit masih sangat rendah, sehingga pada masa itu perawat gigi melakukan tindakan promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut
Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran gigi diikuti dengan bertambahnya jumlah dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Kondisi tersebut menimbulkan konflik internal dan eksternal pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Konflik internal terjadi dalam tubuh organisasi dokter gigi, yang disebabkan oleh tidak jelasnya mapping competencies antara dokter gigi dengan dokter gigi spesialis. Sedangkan konflik eksternal disebabkan karena bertambahnya jumlah dokter gigi, yang berdampak pada terpenuhinya pelayanan kuratif oleh dokter gigi pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut, sehingga pemerintah harus membatasi kompetensi perawat gigi lebih kearah promotif dan preventif yang identik dengan tindakan care. Namun tidak mudah bagi pemerintah untuk mengubah performance dan membatasi kompetensi perawat gigi pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut, yang semula melaksanakan tindakan promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif sekarang hanya melakukan pelayanan promotif dan preventif.
Strategi pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan merumuskan kebijakan dengan meningkatkan jenjang pendidikan perawat gigi dari Sekolah Pengatur Rawat Gigi (SPRG) menjadi diploma III kesehatan gigi dengan kurikulum yang diarahkan pada kompetensi promotif dan preventif kesehatan gigi. Maka pada tahun 1995 Departemen kesehatan mendirikan pendidikan tenaga kesehatan diploma III kesehatan gigi di Bandung, dengan nama Akademi Kesehatan Gigi. Kewenangan dan kompetensi perawat gigi diatur dalam kebijakan pemerintah melalui Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Nomor ; HK.00.06.4.6.03165 tentang tata cara kerja pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas, sasaran pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut diutamakan kepada kelompok masyarakat yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut yaitu anak pra sekolah, anak sekolah dasar dan ibu hamil.
Walaupun kompetensi telah di batasi dan jenjang pendidikan ditingkatkan, namun pada implementasi di lapangan tidak sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi di masyarakat, perawat gigi melaksanakan tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif tanpa ada pendelegasian wewenang dari dokter gigi sebagai penanggungjawab pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Kesalahan perawat gigi dalam melaksanakan tugas sering terjadi pada tugas-tugas mandiri, tugas-tugas kolaborasi maupun tugas-tugas yang merupakan pelimpahan wewenang. Hal tersebut terjadi, bukan semata menjadi kesalahan/kesengajaan yang dilakukan oleh perawat gigi, akan tetapi hal tersebut disebabkan karena : 1) perawat gigi sebagai profesi belum memiliki body of knowledge/kemandirian ilmu. 2) Ratio dokter gigi terhadap jumlah penduduk masih sangat rendah yaitu 1 : 21.500 penduduk, sehingga memungkinkan perawat gigi mengisi kekosongan di Puskesmas yang tidak memiliki dokter gigi, dan secara otomatis perawat gigi akan mengerjakan tugas dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut; 3) Dokter gigi di Puskesmas memiliki tugas rangkap, sehingga memungkinkan tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan medis kedokteran gigi, yang pada akhirnya tugas dan kewenangannya dikerjakan oleh perawat gigi (6).



C. MODUS OPERANDI PUSKESMAS
Hubungan vertikal antara puskesmas dengan birokrasi kesehatan dan masyarakat. Telah ditunjukkan pula bahwa pendekatan top down dalam program kesehatan menyebabkan puskesmas menjadi pelaksana pasif kebijakan nasional. Dalam sistem yang tersentralisasi ini, puskesmas berhasil memperoleh sebagian otonomi dengan mengesankan para pejabat pemerintah, bahwa semua kegiatan berjalan menurut kebijakan yang ditentukan (sedangkan pelaksanaannya sebetulnya berbeda). Melalui tabir yang diciptakan oleh sistem laporan dan kunjungan evaluasi yang di umumkan sebelumnya, kecamatan terisolasi dari tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih tinggi dengan akibat bahwa peraturan dan norma yang disusun pada tingkat nasional tidak lagi menentukan praktik pada tingkat lokal (lihat Quarles van Ufford, 1990:44).
Staf puskesmas bekerja dalam upaya untuk mencapai sasaran dan target program yang dikehendaki oleh pemerintah pusat. Efek samping dari sistem pentargetan adalah petugas kesehatan lebih termotivasi untuk melakukan tindakan medis teknis dari pada melakukan tindakan partisipatif edukatif, sehingga kualitas pelayanan akan diberikan menjadi kepentingan nomor dua. Menurut Rosalia Sciortino selain sistem pentargetan yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas menjadi kepentingan nomor dua adalah sistem penilaian angka kredit (PAK) bagi tenaga kesehatan yang memiliki jabatan fungsional. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa staf puskesmas menangani pekerjaannya dengan merujuk kepada kebijakan pejabat dalam pemerintah daripada pada kebutuhan penduduk akan kesehatan.
Efek samping yang timbul adalah dikembangkanya sebuah ‘permainan’ kolektif, dimana bawahan tidak ingin praktiknya diketahui oleh atasanya, yang sering disebut dengan ‘kontruksi kerahasiaan’. Dalam permainan ini, tenaga kesehatan asyik dengan memenuhi persyaratan formal yang ditentukan oleh atasanya di kecamatan maupun di tingkat yang lebih tinggi, dan tidak mengarahkan pelayanan mereka agar mementingkan kesehatan pasien. Dalam upaya-upaya yang dilakukan oleh staf puskesmas, klien bukanlah pertimbangan yang pertama dan utama bagi mereka.
Menurut Rosalia Sciortino, bahwa pendekatan top down, yang dikombinasikan dengan struktur hierarkis politik dan budaya setempat, tidak mendukung proses kemandirian masyarakat. Dalam masyarakat yang bertingkat, aturan mainya adalah bahwa kaum perempuan elit dan kelas menegah ke atas harus bertindak sebagai provider (pemberi) pelayanan kesehatan masyarakat, dan kaum perempuan kelas bawah harus berperan serta jalan program kesehatan nasional, yaitu sebagai ‘penerima pasif’ layanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Staf puskesmas, yang dikontrol oleh dokter sebagai atasan dan para pejabat kesehatan, menjadi pengontrol masyarakat. Dalam usaha mendapatkan otonomi, penduduk tanpa menyadari meniru strategi tenaga kesehatan dalam mempertahankan sebagian otonominya di hadapan pejabat-pejabat kesehatan. Warga desa hanya berpartisipasi secara ‘fiktif’ dalam program-program kesehatan masyarakat atau dalam situasi konflik yang lebih ekstrim mereka menghindari kontak dengan staf puskesmas.
Hubungan horizontal antara program-program yang bersifat kuratif dan program-program yang bersifat preventif maupun promotif pada pelayanan kesehatan dasar. Di sini ditunjukkan bahwa program-program tersebut terintegrasi hanya sejauh meliputi tindakan medis-teknis. Aspek partisipatif dan edukatif dari PHC dilalaikan sebab tenega kesehatan dan juga penduduk menganggap hal itu tidak relevan (walaupun karena alasan yang berbeda).
Pada simpul antara pertalian-pertalian vertikal dan horizontal inilah staf puskesmas bertindak. Dalam ruang lingkup yang dibentuk oleh sifat-sifat puskesmas yang struktunal ini, mereka harus mewujudkan peran resminya. Misalnya, seperti sudah ditunjukkan, bidan tidak dapat membatasi keterlibatannya dalam pelayanan kesehatan masyarakat karena keterkaitannya dengan bidang KIA dan KB yang diprioritaskan dalam kebijakan nasional. Sebaliknya, seperti yang akan diperlihatkan pada bab selanjutnya, perawat berhasil membebaskan diri dari tanggung jawab terhadap implementasi program-program kesehatan masyarakat dan berhasil menguasai bidang teknis-medis yang paling berharga, yakni pengobatan pasien.
Upaya kesehatan yang dilakukan perawat sebagai tenaga kesehatan dalam upaya meningkatkan derajad kesehatan masyarakat, bukan hanya melakukan tindakan perawatan dan pengobatan terhadap penyakit saja, tetapi upaya peningkatan kesehatan melalui pendekatan edukatif perlu dilakukan dalam rangka membekali pengetahuan tentang kesehatan kepada masyarakat, sehingga memiliki kemandirian dan melatih masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Sehingga strategi internasional melalui pendekatan “PHC” yang dikembangkan di konsep keperawatan barat perlu mendapat perhatian dan dikembangkan di Indonesia, karena primary health care merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi, peran dan tugas pokok perawat serta tenaga paramedis lainya seperti bidan dan perawat gigi dalam memberikan perawatan kesehatan kepada masyarakat di puskesmas.
Strategi pendekatan PHC yang dikembangkan di negara barat telah dilaksanakan oleh perawat gigi semenjak dilahirkan dan bertolak belakang dengan konseptualisasi keperawatan Indonesia yang diciptakan untuk menjadi perawat rumah sakit. Perawat gigi dicetak untuk bekerja di puskesmas untuk memberikan perawatan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat

D. KEGIATAN SEHARI-HARI PERAWAT PUSKESMAS
Rosalia Sciortino mencoba untuk mengkaji motivasi dan peran nyata perawat puskesmas. Pada mulanya dicatat bahwa sikap idealis yang diharapkan oleh PPNI dan pemerintah dari perawat ternyata tidak terbukti karena masuknya perawat dalam dunia keperawatan dan terjunya ke sektor publik terutama atas pertimbangan-pertimbangan keungan.
Konseptualisasi keperawatan formal juga bertentangan dengan tugas perawat yang nyata. Berbeda dengan konseptualisasi peran perawat dalam layanan kesehatan primer (PHC) seperti dicantumkan dalam kebijakan kesehatan nasional, perawat dasar sama sekali tidak menjalankan kegiatan yang bersifat edukatif dan promotif. Tugas-tugas tersebut diabaikan atau didelegasikan kepada pembantu perawat. Seperti sejawat mereka di Barat, para perawat puskesmas melimpahkan tugas yang dianggap tidak bergengsi kepada pembantu perawat dan mengambil alih tugas-tugas medis yang dapat menaikkan statusnya.
Apa yang sesungguhnya dilakukan oleh perawat puskesmas adalah menjalankan peran kuratif. Oleh karena dokter bertindak sebagai manajer dan jarang terlibat dalam bidang pengobatan, perawat bertindak sebagai dokter, dengan meneruskan sub-tradisi khas yang pertama dibentuk oleh mantri-verpleger. jika pada masa kolonial mantri-verpleger melakukan pekerjaan kuratif untuk mengisi kekurangan tenaga medis, pada saat ini perawat puskesmas melakukan pekerjaan kuratif untuk mengisi kekosongan yang muncul karena tenaga medis sibuk dengan bidang manajemen dengan kepuasan kedua belah pihak, baik dokter maupun perawat.
Sekalipun situasi ini sebagian merupakan akibat kebijakan kesehatan pemerintah pusat, jajaran kesehatan yang lebih tinggi tidak memberikan jalan keluar. Oleh karena pejabat kesehatan dianggap tidak boleh tahu; perawat dan dokter perlu menterjemahkan kegiatan aktual mereka menjadi sesuatu yang dapat diterima secara formal. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan apakah kondisi ‘kerahasiaan’ semacam ini, yang menjamin kelangsungan praktik kuratif oleh perawat adalah suatu hal yang ‘sehat’ bagi pasien. Bebeda dengan mantri-verpleger di zaman kolonial, perawat masa kini tidak memperoleh pendidikan yang bersifat kuratif. Pengetahuan pengobatan biomedis sangat tidak memadai sehingga tenaga keperawatan lebih menggantungkan ‘rasa’ daripada ilmu biomedis dalam menangani pasien-pasienya.
Dalam peran kuratif, para perawat puskesmas memberikan tekanan pada tindakan medis-teknis dengan melepaskan komponen pendidikan. Sama seperti pasien, perawat menganggap pemberian obat-obatan sebagai anti pokok pelayanan pengobatan. Dengan memberikan suntikan dan pil-pil, tenaga keperawatan mendapat penghormatan dari masyarakat, dan dengan memperluas pelayananya ke sektor swasta, mereka dapat memperoleh keuntungan ekonomi.
Implementasi PHC yang tidak maksimal oleh profesi keperawatan, bertolak belakang dengan perawat gigi dalam melaksanakan program-program Puskesmas. Perawat gigi lebih disiplin dan tertib melaksanakan tugas yang menjadi beban tugas mereka baik di poliklinik gigi dan mulut maupun di masyarakat, karena perawat gigi merupakan ujung tombak dalam melatih kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Dan yang menjadi kesamaan dengan perawat dalam implementasi pelaksanaan program puskesmas adalah masih memberikan pelayanan yang bersifat kuratif

E. PERAWAT SEBAGAI PENGUSAHA
Bab ini memusatkan perhatian pada sektor swasta dengan menggambarkan praktik-praktik dokter, perawat dan bidan. Secara umum dapat dikatakan bahwa prestasi pegawai negeri ini sangat meningkat di sektor swasta. Juga tampak dengan jelas, bahwa para tenaga kesehatan dapat memperoleh keuntungan dari kekurangan-kekurangan puskesmas, yang berperan di antaranya mereka ciptakan sendiri. Praktik-praktik swasta mereka menampung pasien-pasien yang tidak puas terhadap pelayanan puskesmas.
Lebih jauh lagi, dapat dicatat bahwa dengan pindah dari sektor publik ke sektor swasta pendekatan tenaga kesehatan terhadap pasien dapat diperbaiki. Para pasien tidak lagi dianggap sebagai sebuah nomer, seperti nampak terjadi di puskesmas, dan mendapatkan dimensi kemanusiaan di praktik swasta.
Di bab ini juga dibicarakan bagaimana keterlibatan bidan dalam pelayanan KIA, yang memberikan jaminan untuk memperoleh pendapatan yang besar di sektor swasta. sebagai akibatnya, bidang pengobatan menjadi relatif kurang menarik bagi bidan. Perawat sebaiknya tidak mampu menyediakan pelayanan kontrasepsi yang menguntungkan, dan memilih untuk melanjutkan peran kuratif mereka dalam bidang pengobatan di sektor swasta.
Walaupun praktik swasta perawat adalah illegal menurut peraturan yang berlaku, namun masyarakat tetap menggunakan mereka sebagai pilihan penengah antara puskesmas dan praktik swasta dokter. Praktik-praktik swasta perawat saling melengkapi dan sekaligus berkompetisi dengan puskesmas. Sepanjang pola pelayanan yang diberikan berbeda dengan puskesmas, mereka menjadi pelengkap, tetapi mereka juga bersaing denganya karena merebut kelompok sasaran yang sama. Begitu pula praktik swasta perawat saling melengkapi sekaligus saling bersaing dengan praktik swasta dokter. Mereka saling melengkapi sejauh menyangkut kelompok sasaran yang berbeda, tetapi juga saling bersaing ketika keberadaan praktik swasta perawat menjauhkan pasien (terutama dari kelas menengah-bawah) dari jangkauan dokter.
Masih menjadi pertanyaan di sini apakah tenaga keperawatan juga bersaing dengan aliran medis lainya, dan secara lebih umum, bagaimana mereka berinteraksi dengan pengobatan-pengobatan tradisional.
Obsesi perawat dan bidan untuk mengembangkan sektor swasta dengan melaksanakan praktik mandiri di luar jam kerja, yang dianggap paling banyak mendatangkan penghasilan juga dilakukan oleh perawat gigi meskipun hal tersebut dilarang oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya. Disadari ataupun tidak, bahwa upaya yang dilakukan untuk membuat praktik mandirinya laku, perawat gigi juga membangun image negatif kepada masyarakat tentang pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas, sehingga masyarakat lebih memilih untuk berobat ke klinik mandiri perawat gigi yang relatif lebih murah dan manusiawi.
Praktik yang dilakukan perawat gigi di luar jam kerja, yang secara resmi melanggar hukum, tidak ditutup secara paksa, bahkan dimaklumi atau kurang dipedulikan oleh pemerintah sejauh tidak ada keluhan dari klien.
Penggolongan pelayanan kesehatan dalam kategori legal atau illegal tidak berlaku bagi daerah terpencil di Indonesia yang masih jauh dari pusat layanan kesehatan. Di daerah tersebut tenaga kesehatan diwajibkan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya.
F. PERAWAT DAN PENGOBATAN TRADISIONAL
Dalam bab ini, penulis menunjukan bagaimana aliran pengobatan Jawa yang demikian aneka ragam, bertentangan secara ideologis aliran biomedis dan bagaimana konflik tersebut diperkuat oleh sikap pemerintah di media masa dengan memilih aliran biomedis, pemerintah menyisihkan para pengobat tradisional ke dalam ruang lingkup informal.
Akan tetapi, masyarakat tampaknya tidak terpengaruh oleh pandangan eksklusif ditingkat nasional dan secara spontan menggabungkan berbagai aliran dengan memberikan kepada setiap aliran nilai dan fungsi yang saling melengkapi. Dalam kerangka konseptual penduduk desa, aliran biomedis, sebagai aliran yang bersifat medis-teknis dan sekunder dianggap cocok untuk mengobati penyakit-penyakit lahir yang tidak memerlukan penafsiran secara holistik. Persepsi pasien tersebut mempertahankan penafsiran tenaga kesehatan terhadap pengobatan biomedis sebagai aliran yang bersifat teknis, dan secara tersirat memberi justifikasi kepada mereka untuk menolak dimensi holistik dalam pelayanan yang mereka berikan.
Lebih lanjut lagi, para spesialis biomedis yang didukung pandangan negatif pemerintah terhadap pengobatan tradisional, tidak merasa perlu untuk memperluas pelayanan mereka ke bentuk-bentuk pengobatan lainnya. Bahkan ketika sedang bertugas, tenaga kesehatan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap warisan budaya sendiri sesuai dengan model biomedis yang mereka anut. Tampaknya, tidak satu pihakpun yang berharap bahwa para spesialis biomedis akan menunjukkan sikap menerima terhadap aliran pengobatan Jawa ataupun Islam. Kelihatan bahwa pemikiran untuk mengintegrasikan pengobatan modern dan pengobatan tradisional seperti diusulkan oleh WHO, secara keseluruhan berada di luar pemikiram masyarakat pedesaan di Jawa.
Penolakan resmi tenaga biomedis namun tidak berimplikasi bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh sistem medis yang pluralistis. Sebaliknya, dalam kehidupan pribadi mereka tidak kebal terhadap daya tarik berbagai bentuk pengobatan alternatif. Begitu mereka selesai berperan sebagai penyedia layanan, cara berpikir mereka menjadi tak jauh berbeda dengan penduduk desa lainya dengan berpindah dari model konseptual eksklusif ke suatu model yang komprehensif. Maka tampaklah pola perilaku yang mendua, di suatu pihak tenaga kesehatan mencela terapi-terapi tradisional, namun di pihak lain dengan senang hati menerimanya dalam kehidupan pribadinya. Mereka bertindak kontradiktif dan menyatukan pandangan-pandangan praktik-praktik yang berbeda tanpa menganggap sebagai sesuatu hal yang konfliktual.
Dalam menguji interaksi pengobatan modern dan pengobatan tradisional dan berbagai sudut pandang, analisis penulis tentang hubungan vertikal dan horizontal yang melibatkan perawat di tingkat kecamatan dan desa menjadi lengkap. Melalui analisis tersebut, penulis telah menawarkan beberapa penafsiran terhadap peran resmi perawat dan aktualisasi yang agak berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Pengobatan tradisional jawa dengan aliran biomedis merupakan dunia pengobatan yang berbeda. Model biomedis didasarkan atas biologi molekuler dan seluler. Pada aliran ini beranggapan bahwa semua penyakit mempunyai penyebab patogenik yang khusus dan dapat diobati dengan menghilangkan atau mengendalikan penyebab tersebut. Sedangkan dalam aliran pengobatan jawa, penyakit selalu diartikan sebagai suatu keadaan tidak seimbang atau tidak harmonis antara unsur-unsur fisik maupun spiritual, penyembuhan penyakit pada aliran ini selalu melibatkan pemulihan keseimbangan dan harmoni antara unsur fisik dan spiritual.
Aliran pengobatan jawa dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu kategori pertama meliputi terapi-terapi teknis sekuler yaitu dengan menggunakan ilmu lahir (ilmu teknis dan alami), seperti pengobatan mandiri dan jamu-jamuan, pemijatan dan dukun-dukun sekuler semacam dukun bayi dan dukun pijat. Kategori kedua adalah jenis terapi yang menggunakan ilmu batin (ilmu tenaga dalam, ilmu megis) dan pengobatan-pengobatan batin sepert orang tua, orang pintar dan dukun kebatinan, metode pengobatan batin selalu menggunakan kekuatan batin yang berasal dari sang dukun.
Meskipun pengobatan tradisional jawa bertolak belakang dengan pengobatan modern dengan aliran biomedis, tetapi pemerintah Indonesia melakukan adopsi terhadap pengobatan tradisional jawa khususnya kategori terapi teknis sekuler yang menggunakan ilmu lahir seperti obat tradisional. Yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 100 disebutkan bahwa (1) sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku tradisional. Pemerintah juga menjamin kebebasan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memproduksi obat tradisional, sesuai dengan pasal 101 yang menyatakan bahwa masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

G. PERAN PERAWAT DILIHAT DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
Perbedaan pendapat dari berbagai pihak mengenai peran perawat telah dijelaskan. Departemen Kesehatan telah memilih untuk tidak mau tahu tentang peran kuratif perawat dan tetap menganggap perawat bertindak sesuai dengan definisi formal tugas-tugasnya. Anggapan resmi ini dapat dipertahankan dengan merujuk kepada laporan resmi puskesmas, dan dengan menganut pada peraturan formal yang berbunyi “perawatan diperkenankan melakukan tugas-tugas kuratif dengan mengikuti perintah bersyarat dari dokter”. Sikap menutup-nutupi ini memberikan jalan keluar bagi mereka untuk dapat menghindari adanya reformasi kebijakan yang bersifat kompleks dan untuk menghindarkan diri mereka dari resiko-resiko yang dapat mengancam karir mereka.
Selain pejabat-pejabat kesehatan, dokter dan perawat juga tidak bermaksud membeberkan praktik-praktik kuratif yang dilakukan oleh perawat sejauh hal tersebut berkaitan dengan tugas-tugas di sektor publik. Sikap tutup mulut terhadap kegiatan-kegiatan kuratif ini melindungi kepentingan dokter maupun perawat. Perawat dapat terus melanjutkan kegiatan kuratif, walaupun sebenarnya tidak diizinkan, dan dokter dapat tetap meninggalkan kegiatan kuratif, padahal itu seharusnya dilakukan. kebanyakan pasien tidak benar-benar menaruh perhatian mengenai hal ini, karena mereka menganggap bahwa perawat merupakan pengganti dokter yang tepat dalam melaksanakan tindakan kuratif. Mereka tidak mengharapkan perawat untuk melakukan perawatan di tempat tidur maupun perawatan kesehatan masyarakat. Sebagian kecil dari mereka yang menginginkan pengobatan dari dokter di sektor publik tidak mempunyai kekuatan ataupun kemauan untuk membeberkan situasi tersebut.
Akan tetapi, kesepakatan umum untuk menutupi praktik-praktik yang sebetulnya dilakukan ini membuat perawat merasa terjebak. Meskipun mereka menikmati keuntungan dari bidang kuratif, namun mereka tidak menghargai illegalitasnya yang menjadi penghalang untuk memperoleh bentuk-bentuk penghargaan tertentu, dan membuat mereka rentan terhadap resiko hukum yang cukup besar. Mereka harus mampu mengatasi situasi sulit ini yang mereka anggap tidak wajar: mereka tidak diperbolehkan memberikan pengobatan tetapi harus melakukanya atas permintaan pasien dan ‘ketidak-sediaan’ dokter bekerja sebagai spesialis kuratif di puskesmas.
Para perawat malah merasa labih terperangkap dalam sektor swasta, akibat kuatnya oposisi dari pihak dokter. Kalau di sektor publik dokter melindungi perawat. Namun di sektor swasta dokter menentang perawat. Oleh karena kemungkinan kehilangan calon klien, dan kemudian mendapatkan, maka dokter merasa keberatan terhadap praktik swasta yang dilakukan oleh perawat. Dalam kerangka pikir semacam ini, kesehatan penduduk baru menjadi perhatian utama, dan kualitas pelayanan kuratif perawat menjadi sebuah isu. Sebetulnya isu ini seharusnya tidak hanya penting untuk merebut pasar swasta, bahkan jauh lebih penting untuk pelayanan-pelayanan publik seperti akan dibahas dalam bab terakhir dari buku ini.

0 komentar:

Posting Komentar