Kajian UU Kesehatan

5 komentar
Oleh: Bedjo santoso program doktoral IKG UGM

Kesehatan merupakan hak fundamental bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) tahun 2005-2025 dinyatakan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, maka pembangunan nasional harus diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia yang bekualitas dan memiliki daya saing.
Dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing, maka pembangunan kesehatan perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajad kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh, produktif, dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang akan dihadapi. Untuk itu diperlukan perencanaan program yang bersifat inovatif, dan sebuah produk hukum yang memiliki sifat mengikat dan mengatur segala aspek kehidupan dibidang kesehatan yaitu Undang-Undang Kesehatan.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, merupakan revisi dari Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 2009 dan mulai berlaku secara resmi tanggal 30 Oktober 2009. Undang-Undang Kesehatan baru yang memiliki XXII BAB dan 205 pasal, seharusnya lebih progresif jika dibandingkan dengan Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 hanya memiliki XII BAB dan 88 pasal. Dalam Undang-Undang Kesehatan (UUK) yang baru diatur tentang : 1) Azaz dan tujuan; 2) Hak dan Kewajiban; 3) Tanggung Jawab pemerintah; 4) Sumber daya dibidang kesehatan; 5) upaya kesehatan; 6) Kesehatan ibu, anak, bayi, remaja, lanjut usia dan penyandang cacat; 7) Gizi; 8) Kesehatan Jiwa; 9) Penyakit menular dan tidak menular; 10) Kesehatan lingkungan; 11) Kesehatan kerja; 12) Pengelolaan kesehatan; 13) Informasi kesehatan; 14) pembiayaan kesehatan; 15) Peran serta masyarakat; 16) Badan Pertimbangan Kesehatan; 17) Pembinaan dan Pengawasan; 18) Penyidikan dan 19) Ketentuan pidana.
Isu strategis yang berkembang di masyarakat adalah pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 memberikan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014 adalah meningkatnya derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang antara lain adalah 1) meningkatnya usia harapan hidup menjadi 72 tahun; 2) menurunnya angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup; 3) menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup; 4) menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita menjadi lebih kecil dari 15 %.
Apakah Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 dapat mengakomodir isu-isu strategis dan permasalahan kesehatan dewasa ini ? untuk mengupas lebih dalam akan dikaji dari bab per bab :
Bab I tentang ketentuan umum memuat batasan dan pokok pikiran yang dijabarkan secara rinci di dalam materi undang-undang.
Bab II tentang asas dan tujuan. Dalam bab ini mengatur asas dan tujuan pembangunan kesehatan, sebagai landasan dan arah bagi pembangunan kesehatan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara ekonomis dan sosial (Pasal 2 dan 3). Arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah mengutamakan upaya pelayanan kesehatan dengan pendekatan promotif, preventif tanpa meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Bab III tentang hak dan kewajiban. Menjelaskan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif dan partisipatif dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang atas pelayanan kesehatan. Dalam pasal 4 – 13, mengatur hak dan kewajiban individu sebagai elemen masyarakat atas pelayanan kesehatan.
Pasal-pasal dalam bab tersebut tidak diterjemahkan dengan baik oleh lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan, dengan melakukan tindakan diskriminasi tehadap pasien pada pelayanan kesehatan di rumah sakit tanpa memperhatikan hak pasien. Sebagai contoh : orang yang mampu membayar biaya perawatan akan mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan dengan baik, dan dapat memilih rumah sakit maupun dokter yang dikehendaki. Tetapi bagi orang yang tidak mampunyai biaya untuk membayar rumah sakit/tidak dapat memberi uang muka untuk tindakan medis tertentu, maka akan mendapatkan perlakuan tidak baik bahkan ditolak untuk berobat di rumah sakit tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Kesehatan pasal 5 ayat 2, yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.”
Ironisnya penolakan terhadap pasien tidak mampu, terjadi pada rumah sakit milik pemerintah. Dasar penolakan berkisar pada profit oriented dan beban biaya operasional rumah sakit yang tinggi. Sehingga rumah sakit hanya akan melayani pasien yang memberikan jaminan pembiayaan pengobatan saja.
Bab IV mengatur tentang tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan, ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau, serta bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Tanggung jawab pemerintah secara rinci dan tegas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan diatur dalam pasal 14 - pasal 20.
Menyikapi terjadinya penolakan pasien tidak mampu, menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai pengawas dan pembina unit pelaksana teknis pelayanan kesehatan seperti yang diamanatkan undang-undang kesehatan pasal 14 ayat 1, yang berbunyi :
“Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh mayarakat”
Bahkan dalam pasal ini menegaskan, bagi pasien tidak mampu akan memperoleh jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial. Sehingga tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk menolak pasien tidak mampu atau menolak pasien yang tidak dapat memberi uang muka terhadap biaya tindakan medis tertentu.
Bab V tentang sumber daya di bidang kesehatan. Secara rinci diatur tentang tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, perbekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi merupakan sumber daya di bidang kesehatan yang potensial. Setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan didukung oleh keempat komponen tersebut.
Diantara keempat komponen, yang paling dominan menimbulkan konflik adalah permasalahan tenaga kesehatan, karena tenaga kesehatan harus bekerja secara profesional dan proporsional untuk menghindari kelalaian dalam melaksanakan pekerjaannya. Tenaga kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan diatur dalam pasal 21 - 29. Permasalahan yang sering terjadi adalah tentang kelalaian dalam bekerja yang dapat terjadi manakala tenaga kesehatan melaksanakan tugas mandiri, tugas kolaborasi maupun tugas pendelegasian wewenang, sehingga tenaga kesehatan yang diduga melakukan kelalaian harus mendapatkan perlindungan secara hukum.
Namun pada kenyataannya Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tidak dijadikan acuan dan landasan hukum dengan baik oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaian kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien. Penegak hukum harus melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah akibat kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas, tetapi aparat penegak hukum lebih cenderung melakukan tindakan hukum atas kelalaian tersebut., seperti yang diamanatkan Undang-Undang Kesehatan Pasal 29 yang berbunyi :
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”
Masalah lain yang menjadi isu adalah penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, sebagai contoh pemerintah tidak merespon tenaga paramedis (perawat/perawat gigi) melakukan tindakan medis (pengobatan penyakit /cure) di puskesmas yang merupakan otoritas dan kompetensi dokter/dokter gigi, bahkan terkesan membiarkan kondisi tersebut terjadi, selama tidak mendapat komplain dari masyarakat. Hal tersebut sama artinya dengan penyelenggara pelayanan kesehatan mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, seperti yang tertuang dalam pasal 34 ayat 2 :
”Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.”
Masalah lain yang timbul adalah tentang perbekalan kesehatan yaitu kewenangan yang diberikan Undang-undang terhadap pemerintah untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan terutama obat esensial dan alat kesehatan. Pemerintah mengirim obat dan alat kesehatan ke daerah-daerah tanpa memperhatikan kesiapan dan kemampuan daerah. Pemerintah mengirim alat kesehatan canggih yang kadang belum dibutuhkan daerah, karena memerlukan biaya perawatan dan pemeliharaan sangat mahal, yang pada akhirnya berdampak pada rakyat miskin. Karena beban biaya perawatan dan pemeliharaan dibebankan oleh rakyat.
Bab VI tentang upaya kesehatan yang secara tegas telah mengatur tentang upaya kesehatan untuk mewujudkan derajad kesehatan yang setinggi-tingginya, yang diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini telah menjawab isu strategis tentang pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 yang memberikan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. Serta memantapkan strategi untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014 yaitu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam bab ini juga mengatur tentang pelayanan kesehatan dasar yang harus diselenggarakan atau tersedia untuk menjamin hak azasi manusia untuk hidup sehat. Dan secara eksplisit tersirat tentang penyelenggaraan atau penyediaan pelayanan kesehatan dasar harus diwujudkan secara nyata guna menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini juga mengatur tentang perlindungan atas hak pasien untuk menerima dan menolak upaya pelayanan kesehatan yang diberikan, hak atas kerahasiaan kondisi kesehatannya serta hak untuk mendapatkan ganti rugi terhadap tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Persoalan jual beli organ dan jaringan tubuh juga diatur dalam pasal 64, ayat 2 yang menyebutkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh didilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan, sedangkan ayat 3 menyebutkan bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 71 – 74 mengatur tentang kesehatan reproduksi. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi dapat diperoleh oleh perempuan jika berada dalam status perkawinan. Pasal ini tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi individu perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi individu, maka hak kesehatan reproduksi individu lajang menjadi terabaikan. Karena pada kenyataannya layanan pap smear untuk deteksi awal kanker rahim mensyaratkan harus sudah menikah. Pasal-pasal ini juga melanggar hak kesehatan yang bersifat universal dan merupakan hak azasi warga negara, selain itu juga menjadi sandungan upaya untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan
Hilangnya jaminan kepastian hukum bagi semua orang dan resiko memunculkan pengabaian ada pada pasal 72 : setiap orang berhak
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan sosial yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama
Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tetapi justru direduksi atas dasar status perkawinan.
Aborsi juga dilarang dalam undang-undang ini (pasal 75 ayat 1), kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban. Meski demikian pembolehan aborsi itupun melalui syarat yang ketat. Misalnya hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan (pasal 76).
Aborsi aman dalam pasal-pasal ini hanya diberikan kepada pasangan yang sudah menikah dan ganjalan pada pasal moral dan agama tidak diatur dalam undang-undang ini, misalnya korban pemerkosaan diminta mempertahankan kehamilan oleh keluarga karena atas nama moral dan agama. Peraturan dalam undang-undang juga menyebutkan penghentian kehamilan hanya bisa dilakukan sebelum usia 6 minggu, tetapi pasal dalam undang-undang tersebut tidak menjawab “Bagaimanakah dengan kelainan janin yang berujung pada kecacatan ? Apakah sudah bisa terdeteksi pada usia enam minggu. Para dokter ahli kandung harus dilibatkan dalam pembuatan peraturan pemerintah terkait hai itu. Pasal mengenai aborsi juga mengabaikan pengalaman perempuan yang terpaksa menghentikan kehamilannya oleh sebab-sebab tertentu.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, telah mengakomodasi isu terkini, seperti masalah jaminan keamanan makanan / minuman hasil teknologi rekayasa genetika dengan memberi rambu-rambu yang jelas (pasal 109). Dan pasal-pasal dalam pengaturan penggunaan makanan dan minuman secara langsung maupun tidak langsung membawa implikasi bagi dunia usaha. Sebagai contoh pasal 111 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari kontrofersi yang sempat menghangat terkait hilangnya ayat tembakau dalam pasal 113 beberapa waktu yang lalu, undang-undang yang baru ini menjanjikan banyak harapan baru. Khususnya harapan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, terutama dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010.
Bab VII tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat. Dalam bab ini mengatur secara lengkap mengenai : upaya menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu; hak bayi untuk mendapatkan air susu eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung; hak anak untuk memperoleh imunisasi guna mencegah terjadinya penyakit serta hak atas perlindungan dari tindakan diskriminasi terhadap bayi dan anak.
Bab VIII mengatur tentang gizi. Undang-Undang Kesehatan mencoba menjawab tantangan, mengatur strategi dan mengatur program lanjutan untuk mengatasi masalah gizi buruk dan gizi kurang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas prevalensi nasional 18,4 %. Maka dalam pasal 141-143 mengatur tentang : upaya perbaikan gizi sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia yang diprioritaskan pada kelompok rawan; mengatur pula tentang tanggung jawab pemerintah atas pemenuhan dan kecukupan gizi pada keluarga miskin serta serta tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi.
Bab IX pasal 144 – 151 mengatur tentang Upaya kesehatan jiwa yang ditujukan untuk menjamin setiap orang untuk dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa serta mengatur upaya pemerintah untuk menciptakan kondisi kesehatan jiwa setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaannya, aksebilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.
Bab X tentang penyakit menular dan tidak menular. Dalam bab ini mengatur tentang peran serta pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian, penanganan penyakit menular dan tidak menular.
Bab XI mengatur tentang kesehatan lingkungan, yaitu upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang terbebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan dalam upaya mencapai derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
Bab XII tentang kesehatan kerja yang mengatur upaya kesehatan kerjayang ditujukan untuk melindungi pekerja baik sektor formal maupun informal agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruhburuk yang diakibatkanoleh pekerjaan. Dalam bab ini mengatur tentang pengusaha yang wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja dan gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja.
Bab XIII mengatur tentang pengelolaan kesehatan yang dilakukan baik secara berjenjang yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam sistem kesehatan nasional melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
Bab XIV mengatur tentang pentingnya sistem informasi kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah guna mewujudkan penyelenggaraan upaya kesehatan yang efektif dan efisien, dan masyarakat dapat memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dengan mudah.
Bab XV mengatur tentang pembiayaan kesehatan yang menuntut eksistensi pemerintah/pemerintah daerah dalam pembiayaan kesehatan. Pada pasal 171 dinyatakan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan 5 % dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) diluar gaji. Sedangkan anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan kota/kabupaten dialokasikan minimal 10 % dari APBD di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam APBN dan APBD diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga). Pasal 173 juga mengatur tentang eksistensi swasta dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan melalui jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
Bab XVI mengatur tentang peran serta masyarakat, baik secara perseorangan maupun terintegrasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu, mempercepat pencapaian derajad kesehatan masyarakat.
Bab XVII mengatur tentang Badan Pertimbangan Kesehatan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah yang bersifat independen dan meiliki peran membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan serta mempunyai tugas : menginventarisasi masalah kesehatan, memberikan masukan kesehatan kepada pemerintah tentang sasaran kesehatan dan pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan; menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan; melakukan advokasi dan penggunaan dana kesehatan; memantau dan mengalokasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan. Namun Badan Pertimbangan Kesehatan ditingkat daerah peran dan fungsinya kurang menonjol.
Bab XVIII mengatur tentang pembinaan dan pengawasan, yaitu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan yang dilakukan melalui komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, pendayagunaan tenaga kesehatan dan pembiayaan. Peran pengawasan yang dilakukan oleh menteri dapat didelegasikan kewenangannya kepada pemerintah non kementerian yaitu kepada kepala dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk pemberian sanksi terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
Bab XIX mengatur tentang penyidikan. Kewenangan penyidikan selain dilakukan oleh polisi negara Republik Indonesia, diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.
Bab XX mengatur tentang ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini. Pada bab ini potensi mengkriminalisasi perempuan, termasuk menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban pemerkosaan yang trauma bila kehamilannya dilanjutkan. Misalnya pasal 194 menyebutkan setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan pasal 75 ayat 2 dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
Pada bagian ini, undang-undang nomor 23 tahun 1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada paramedis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 ketentuan pidana berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Undang-undang ini hanya mengecualikan aborsi untuk kondisi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang trauma, dengan syarat usia kehamilan di bawah enam minggu.
Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat, sehingga menjadi undang-undang yang lahir berdasarkan respon kebutuhan dan isu strategis yang berkembang di masyarakat.

5 komentar:

Posting Komentar