KAJIAN PROSES KEBIJAKAN

0 komentar
by Bedjo Santoso/S3 IKG UGM

Dalam suatu negara hukum yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dilakukan melalui kebijakan publik. Kinerja pemerintahan yang baik (good goverment performance) harus diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), dan good policy hanya dapat dicapai melalui proses kebijakan yang baik (good policy process). Proses kebijakan dipandang sebagai suatu tahapan/siklus dari serangkaian kegiatan kebijakan yang meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Menurut William Dunn, proses kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda (agenda setting ) yaitu sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai suatu masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Isu kebijakan lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri. Menurut William Dunn, Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Pada sisi lain isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga merupakan sebuah peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan. Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Isu kebijakan menjadi penting untuk dicermati, karena : Pertama, bahwa proses pembuatan kebijakan publik di sistem politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu tertentu. Kedua, derajat keterbukaan, yakni tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan publik.
Suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu, yaitu :
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja, bahkan akan menjadi suatu ancaman serius jika tidak diatasi dan akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
Meskipun kriteria di atas memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah yang cukup tinggi, namun hendaknya jangan dijadikan sebagai resep siap pakai, melainkan hanya sekadar dijadikan sebagai semacam kerangka acuan. Sebab, banyak bukti yang menunjukkan, bahwa meskipun beberapa persyaratan di atas relatif terpenuhi, dalam praktek kebijakan di Indonesia ternyata tidak jalan. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder.
Langkah kedua dalam proses kebijakan setelah agenda setting adalah formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang masuk diidentifikasi untuk kemudian di cari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Formulasi kebijakan memiliki aktivitas yang sangat penting dalam kerangka peramalan. Formulasi kebijakan akan memberi gambaran mengenai konsekuansi di masa mendatang dari diterapkannya kebijakan tersebut. Langkah-langkah dalam formulasi kebijakan adalah sebagai berikut :
1. Pengajuan Persoalan adalah pengajuan isu yang sudah diprioritaskan dalam agenda setting. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menentukan dan memahami hakekat persoalan dan suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Rumusan tersebut harus nyata dan jelas pengertiannya serta terjabarkan yang mana faktor-faktor penyebab (independent variabel), dan faktor-faktor yang merupakan akibat (dependent variabel).
2. Penentuan Tujuan yang dimaksud dengan tujuan adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin dihindari. Secara umum suatu kebijakan selalu bertujuan untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik atau mencegah terjadinya keburukan-keburukan atau kerugian-kerugian semaksimal mungkin. Kewajiban analis dalam tahapan ini adalah merumuskan tujuan tersebut secara jelas, realistis, dan terukur.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Bisa juga dikaitkan sebagai pilihan-pilihan di luar alat atau cara-cara yang telah digunakan atau yang telah ada. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang ada (sedang dijalankan). Kedua, dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba diterapkan dalam bidang yang tengah dipelajari (balancing). Ketiga, merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu (inventive)
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi, diwujudkan dalam hubungan-hubungan kausal atau fungsional. Manfaat dari pada model dalam formulasi/analisis kebijakan adalah mempermudah deskripsi persoalan secara struktural, membantu dalam melakukan prediksi akibat-akibat yang timbul dari dan atau tiadanya perubahan-perubahan dalam faktor penyebab. Dengan demikian, model merupakan alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, atau dalam perumusan tujuan dan pengambangan serta penentuan pilihan alternatif kebijakan.
5. Penentuan Kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Ini menyangkut bukan hanya hal-hal yang bersifat pragmatis seperti ekonomi (efisiensi, dsb.), politik (konsensus antar stakeholders, dsb.), administratif (kemungkinan efektivitas, dsb.), dan seterusnya, tetapi juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falsafah kriteri yang berhubungan dengan nilai dan pandangan hidup. Dalam hubungan ini, bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila dan UUD 1945 sebagai “Pedoman Perilaku” dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang secara imperatif harus dijadikan nilai dasar yang menghikmati setiap kebijakan. Nilai dasar tersebut perlu dikembangkan sehingga secara tehnis bisa dijadikan kriteria dalam penilaian dan penentuan alternatif-alternatif kebijakan; dan secara sosiokultural dapat berperan sebagai pedoman perilaku dalam interaksi keseluruhan proses kebijakan.
6. Penilaian Alternatif. Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fasilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif yang mungkin paling efektif dan efisien. Misalnya, dari segi ekonomi (alternatif mana yang paling efisien, atau yang akan memberikan keuntungan terbesar dengan ongkos termurah, dsb.), dari segi politik (perlu diperhitungkan alternatif mana yang paling bisa diterima, dsb.), dari segi administratif (perlu dilihat apakah suatu alternatif secara kelembagaan bisa dilaksanakan). Alternatif perlu pula dinilai dari segi etis dan falsafah. Mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan dan secara administratif bisa dilaksanakan, tetapi bertentangan dengan nilai-nilai sosial tertentu sehingga (kemungkinan besar) tidak ada kemufakatan dari stakeholders untuk menerimanya.
7. Perumusan Rekomendasi. Penilaian atas alternatif-alternatif akan memberikan gambaran mengenai sejumlah pilihan-pilihan yang “tepat” untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Langkah akhir dan analisis kebijakan adalah merumuskan saran mengenai alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimum pada kondisi berbagai faktor lingkungan, administrasi, dan ekonomi tertentu. Dalam rekomendasi ini ada baiknya dikemukakan juga “strategi pelaksunaan” dari alternatif-alternatif kebijakan yang disarankan tersebut (implementation strategy of the recommended policy alternatives).
Adopsi/legitimasi kebijakan merupakan langkah lanjut setelah formulasi kebijakan. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintah. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah adalah sah.
Implementasi kebijakan. Berhasil tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada tataran implementasinya. Sering dijumpai bahwa proses perencanaan kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam implementasinya. Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni :
1. tahapan pengesahan peraturan perundangan;
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1. penyiapan sumber daya, unit dan metode;
2. penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
3. penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi.
Tahap paling akhir dalam proses kebijakan adalah penilaian kebijakan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi implementasi dan dampak. Evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional, artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian evaluasi kebijakan dapat meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan maupun terhadap dampak kebijakan.

0 komentar:

Posting Komentar